Menanggapi artikel di Buku :
Gary Krug. (2005). Communication Technology and Cultural Change,
Sage Publication. London. ISBN: 0 7619 7200 5(GK) – Chapter 6-7.
Abstrak
Dunia informasi seperti yang kita ketahui kini menguasai segala aspek kehidupan di dunia. Bahkan di daerah Barat, jual beli informasi marak dilakukan untuk kelangsungan suatu kepentingan. Di kehidupan modern seperti sekarang, informasi bukan hanya sebagai tonggak bagi pusat-pusat informasi saja, melainkan seluruh individu yang ada di dunia yang bukan hanya untuk kebutuhan sekunder, melainkan kini menjadi kebutuhan primer yang menopang diri setiap individu untuk bertahan hidup. Semua hal yang ada disekeliling kita merupakan informasi. Dengan kata lain apapun di dunia ini dapat menjadi informasi.
Layaknya semua hal yang ada didunia ini, sudah menjadi suatu pengharapan bahwa hal-hal yang ada di dunia dapat menghasilkan manfaat dan kegunaan yang positif. Namun ada saja oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melakukan tindak penyalahgunaan terhadap informasi, baik untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan suatu institusi. Salah satu bentuk penyalahgunaan tersebut misalnya monopoli media yang dilakukan untuk kepentingan politik, program-program atau tayangan-tayangan yang tidak layak ditonton karena mengandung unsur kekerasan atau pornografi, dan sebagainya. Karena kini sedang marak sekali kasus pornografi, maka akan dibahas mengenai pornografi lebih jelasnya. Dalam benak kita sebagai awam, pornografi dapat dikategorikan sebagai hal-hal tabu yang sifatnya “buka-bukaan” atau asusila yang diperlihatkan kepada orang lain atau khalayak. Banyak sekali definisi mengenai pornografi itu sendiri, yang nanti sekiranya dapat diulas lebih dalam dalam pembahasannya.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, banyak sekali kasus-kasus yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya persebaran video-video “panas” yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dan diperparah dengan keterlibatan tokoh-tokoh terkenal seperti public figure yang menjadi pelaku adegan-adegan tidak senonoh tersebut mulai dari para artis sampai dengan tokoh politik.
Hal-hal tersebut sudah jelas harus segera diambil tindakan tegas agar tidak makin merebak dan tiba pada saat dimana hal-hal tersebut tidak dapat lagi dihentikan. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis. Dimana Indonesia sangat dianjurkan untuk melakukan pendistribusian informasi secara bebas namun tetap berpegang pada norma, hukum, dan etika. Dengan adanya pornografi dan pornoaksi, diperlukan turun tangan langsung dari pemerintah untuk menertibkan hal tersebut agar Indonesia tidak berubah menjadi negara penganut paham liberalisme yang sewenang-wenang.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan pornografi, agar mempermudah kita untuk memahaminya berikut ini ada beberapa pengertian dari pornografi itu sendiri, diantaranya :
- Definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos(gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti “tulisan atau gambar tentang pelacur”. Definisinya adalah “upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi”. (Undang-Undang Pornografi, 2011)
- Pornografi adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip, namun berbeda dengan erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. (Definisi Pornografi, 2008)
Dari beberapa pengertian diatas, semoga dapat memberikan gambaran mengenai apa itu
pornografi. Hampir sama dengan pornografi, mengenai hal-hal yang mengandung “porno” kita juga mengenal istilah “pornoaksi” yang mungkin orientasinya sama dengan definisi dari pornografi, namun terdapat kata “aksi” dalam “pronoaksi” yang memberikan definisi sedikit berbeda namun masih berkaitan yaitu hal-hal yang bersifat porno namun tervisualisasikan bukan hanya melalui gambar melainkan melalui dimensi tiga dimensi yaitu aksi-aksi yang menunjukkan perilaku seksual manusia dengan tujuan seperti halnya pornografi.
Dengan kata lain, pornografi dan pornoaksi merupakan salah satu dari penyalahgunaan informasi yaitu persebaran informasi yang tidak layak yang dapat dimuat dibeberapa media sehingga kita dapat dengan mudah mengaksesnya seperti tayangan televisi, siaran radio, gambar-gambar atau ulasan-ulasan yang terdapat di majalah, koran, tabloid, maupun media-media cetak lainnya.
Pornografi dan Pornoaksi di Indonesia
Awal Mula
Bukan hanya belakangan ini saja kita dapat menemui hal-hal yang berbau porno di Indonesia. Mungkin dapat dikatakan bahwa kini persebaran pornografi dan pornoaksi di dunia, khususnya di Indonesia semakin pesat karena adanya kemajuan teknologi. Dimana kemajuan teknologi tersebutlah yang mempermudah masyarakat dunia, khususnya Indonesia untuk mengakses hal-hal yang berbau porno tersebut.
Pornografi dan Pornoaksi di Indonesia, seperti yang kita ketahui sudah berlangsung lama. Dimana unsur-unsur pornografi tersebut dimulai dengan bermunculannya film-fim “panas” di dunia perfilman Indonesia, yang mana “dilogoi” dengan film bertajuk “film dewasa untuk 17 tahun keatas”. Film-film yang bermunculan ditahun-tahun 70 sampai 90an tersebut, mungkin sekarang sulit kita temui karena sudah jarang bahkan telah dibinasakan. Dalam film-film tersebut, dapat dijumpai adegan-adegan “panas” yang cukup berani, dimana “panas” dalam pembahasan ini diartikan sebagai hal-hal yang mengundang hasrat seksual (syahwat). Para pemain film yang terlibat didalamnya tidak segan-segan untuk melakukan adegan “buka-bukaan”, bahkan ada yang berani beradegan telanjang, sampai melakukan “adegan ranjang”. Ekspektasi orang-orang pun pada masa tersebut berbeda-beda. Ada yang menganggap film-film tersebut menghibur, dan ada pula yang menentang. Pada zamannya itu, tindak-tanduk perfilman indonesia tersebut dianggap aman karena diterakan kategori “Film Dewasa” sehingga anak-anak dibawah umur tidak boleh menyaksikannya. Hal tersebut didukung dengan peraturan keluarga yang pada saat itu cukup keras, sehingga anak-anak tidak sebebas seperti sekarang.
Sekarang
Namun semakin kesini, sudah tidak lagi kita temui film-film “sevulgar” itu karena telah diatur dalam aturan pemerintah yang menyatakan bahwa hal-hal seperti itu dapat merusak moral. Selain aturan yang menyatakan pertentangan terhadap pornografi dan porno aksi tersebut, pemerintah juga menetapkan sanksi tegas bagi yang melanggar hal-hal tersebut.
Akan tetapi, bukan berarti sekarang Indonesia bersih sama sekali dari hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi tersebut. Meskipun tidak “seterang-terangan” pada era perfilman 70-90an, namun unsue-unsur tersebut masih tetap ada namun keberadaannya mungkin dapat kita sebut dengan “terselubung”. Hal tersebut dapat kita lihat dari dunia perfilman di Indonesia sekarang. Bukan bermaksud untuk menghujat, namun disini saya hanya mengkritisasi tentang banyaknya adegan-adegan “tidak senonoh” yang bukan hanya kita temui difilm-film romansa, akan tetapi juga film-film horor. Malah dapat dikatakan bahwa hampir dibeberapa film-film bergenre horor yang tayang dibioskop, mengandung unsur-unsur pornografi dan pornoaksi.
Sebagai ilustrasi, dunia perfilman Indonesia mulai berani menampilkan aksi “ciuman bibir” yang dipelopori oleh beberapa film seperti “Buruan Cium Gue”, “Ada Apa dengan Cinta?”,”Eiffel I’m In Love”, dan masih banyak film-film lainnya. Adegan tersebut yang mungkin mempelopori adegan-adegan yang lebih dari itu di beberapa film-film setelahnya. Dari yang hanya berupa adegan ciuman bibir, sampai ke adegan yang lebih intim lainnya. Meskipun telah diterakan kategori “Film Dewasa” atau “17th keatas”, tidak terlalu mempan untuk mengurangi jumlah penonton dibawah umur. Hal-hal tersebut akan sangat berbahaya pada pembentukan kepribadian anak-anak dibawah umur, khususnya moral. Ilustrasi yang lebih nyata lagi yaitu rencana penayangan film “Menculik Miyabi” yang masih belum tahu kepastian penayangannya. Dapat tergambar dari judul film tersebut, dimana pihak pembuat film akan mengikutsertakan Miyabi yang dikenal orang sebagai ikon film porno dari nergeri bunga sakura. Meskipun pihak pembuat film menyatakan bahwa tidak akan ada adegan “syur” dalam film tersebut, namun tidak ada yang dapat menjaminnya.
Lain halnya dengan beredarnya majalah-majalah dewasa yang berisikan gambar-gambar kemolekan tubuh pria ataupun wanita yang cukup “terbuka” bahkan sangat terbuka yaitu “telanjang” didalamnya. Dewasa ini, majalah-majalah atau tabloid-tabloID tersebut masih beredar bebas dipasaran. Meskipun ada pihak-pihak yang menentang baik secara halus bahkan anarkhis sepeti yang dilakukan oleh FPI terhadap pihak Majalah Playboy Indonesia, tidak menyurutkan langkah para produsen majalah dewasa tersebut. Belum lagi media internet yang mudah diakses. Oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut kini juga mengambil keuntungan persebaran unsur-usnur pornografi dan pornoaksinya lewat internet. Termasuk kini yang sedang marak yaitu video-video seks yang dilakukan oleh-oleh para artis seperti yang kita ketahui dan cukup gempar yaitu kasus video seks yang dilakukan oleh Ariel dan wanita-wanitanya. Adapula dari kancah politik yaitu yang dipelopori oleh video seks milik Yahya Zaini dengan penyanyi dangdut Maria Eva yang juga cukup menggemparkan, sampai dengan kasus “nonton film porno di gedung DPR” yang dilakukan oleh salah satu anggota DPR.
Upaya Penanggulangan yang Dilakukan Untuk Menanggulangi Persebaran Pornografi dan Pornoaksi di Indonesia
Karena hal-hal tersebut tidak bisa dibiarkan dan dapat menyebabkan kehancuran moral bangsa Indonesia, pemerintah membentuk beberapa lembaga yang berkaitan dengan penanggulangan pornografi dan pornoaksi di Indonesia berikut dengan peraturan-peraturannya, antaralain :
- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Dimana pemerintah merumuskan Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002
yang merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berbunyi : “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.” (Profil KPI, 2007)
Dari Undang-Undang tersebut, dapat dirumuskan beberapa fungsi dari KPI itu sendiri, diantaranya :
– Menjembatani kepentingan masyarakat dengan institusi pemerintah dan lembaga penyiaran (radio, dan TV swasta, publik, komunitas maupun berlangganan).
– Mengawasi segala bentuk tindak-tanduk penyiaran, termasuk mengawasi adanya unsur-unsur persinggungan SARA, kekerasan, dan Pornografi/Pornoaksi
- Lembaga Sensor Film Indonesia
Dapat kita lihat dari namanya, lembaga ini bertugas untuk melakukan serangkaian
kegiatan penyensoran seluruh tayangan-tayangan yang terdapat pada media. Ada beberapa tugas LSF yang dapat saya ringkas dari websitenya yaitu diantaranya : (Lembaga Sensor Film)
– Melakukan “censoring” secara rutin dengan hasil :
Meluluskan dengan atau tanpa potongan untuk SEMUA UMUR, REMAJA, dan DEWASA untuk penonton bioskop; Meluluskan dengan atau tanpa potongan untuk SEMUA UMUR, REMAJA, DEWASA untuk penonton televisi; Tidak meluluskan dengan catatan revisi, khusus untuk film Indonesia; Tidak meluluskan secara utuh; Meluluskan tanpa potongan untuk film keperluan festival film dengan kategori ‘TERBATAS’
– Tugas kedua LSF adalah secara terus-menerus wajib mengadakan pemantauan melalui konsultasi dengan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindudharma Indonesia, Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI), dan tokoh-tokoh agama lainnya, serta mengadakan kunjungan kerja ke daerah dan mengadakan temu wicara dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, LSM dan lain-lain untuk memperoleh masukan yang berharga.
– Tugas ketiga LSF adalah secara periodik menginformasikan kepada masyarakat mengenai perkembangan tata nilai dan apresiasi masyarakat terhadap hasil kerja LSF untuk menjadi bahan kajian serta rumusan tata kerja dan kriteria penyensoran sesuai dengan perkembangan zaman.
- Peraturan Perundangan
Undang-undang pornografi yang merumuskan definisi dari pornografi yaitu “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” (Undang-Undang Pornografi, 2011)
Serta ada beberapa undang-undang yang mengatur tentang pornografi dan tindak pidana bagi yang melanggar, yaitu : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008); Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (Undang-Undang Pornografi)
Kesimpulan
Dari ulasan diatas, ada beebrapa hal yang dapat kita cermati. Banyak orang yang menganggap bahwa sesuatu yang dianggap porno adalah sesuatu yang memiliki nilai seni. Maka dari itu, hal-hal berbau pornografi atau porno aksi dapat kita temui di beberapa bidang seni khususnya seni akting. Apabila porsinya sesuai dan tidak melebihi batas, mungkin tidak akan membahayakan, namun dibutuhkan pengawasan dan penyaringan yang ketat karena cara pandang orang lain mengenai hal tersebut berbeda-beda.
Membicarakan hal tersebut memang tidak bisa terlalu “keras”, karena setiap orang memiliki hak untuk melakukan apapun yang diinginkannya asalkan tidak merugikan atau membahayakan orang lain. Dalam konteks pornografi ini merujuk pada suatu hal yang dulu dianggap tabu, yang berbeda dengan sekarang dimana orang bebas untuk berekspresi meskipun bersinggungan dengan hal yang berbau pornografi atau pornoaksi.
Namun yang perlu dikritisasi adalah, hal-hal vulgar yang dapat kita sebut dengan “porno” di Indonesia bukan hanya melebihi batas, melainkan berlebihan. Tanpa harus berdiskusi dengan pihak sensor film, kitapun pasti dapat menilai mana hal-hal yang berbau pornigrafi atau pornoaksi yang tidak layak untuk dipertontonkan. Dan ironisnya, kita masih dapat menemukan banyak sekali hal-hal yang seperti itu. Untuk oramg-orang yang sudah mengerti, atau dengan kata lain dewasa, mungkin masih dapat mengeneralisasikan hal-hal tersebut sebagai sesuatu hal yang melanggar norma. Tapi bagaimana dengan anak bawah umur yang harus disuguhi dengan hal-hal vulgar tersebut sebelum dia dapat menggeneralisasikannya? Tidak heran kalau jumlah anak-anak yang lahir diluar nikah, pernikahan karena hamil diluar nikah, penderita AIDS bertambah.
Seharusnya hal-hal tersebut dapat diminimalisir dan dicegah dengan komitmen untuk saling menjaga dan berpartisipasi untuk mengakali maraknya hal-hal yang berbau pornografi atau pornoaksi tersebar bebas dikalangan remaja. Bukannya saya menganggap bahwa pemerintah tidak tegas, tetapi perlu ketegasan ekstra dan menjadi teladan bagi masyarakatnya. Apa yang akan ada dipikiran masyarakat apabila orang-orang yang menganjurkan mereka menjauhi hal-hal berbau pornografi namun orang-orang teresbut malah menjadi pioneernya (red kasus video porno pejabat). Marilah sama-sama menumbuhkan kesadaran, dan berkomitmen untuk menciptkan masyarakat yang kaya akan moral melalui pengurangan hal-hal yang berbau pornografi atau pornoaksi. Ditengah carut marut masalah negara yang tak kunjung selesai, tidak ada salahnya untuk kita memulai menata kembali tatanan masyarakat untuk tetap menjunjung nilai luhur ketimuran yang kita miliki melalui penyeleksian terhadap budaya-budaya yang dapat merusak moral bangsa.
Daftar Pustaka
Definisi Pornografi. (2008, August 20). Retrieved June 1, 2011, from Multiply Blog: http://deny13.multiply.com/journal/item/76
Lembaga Sensor Film. (n.d.). Retrieved June 1, 2011, from Lembaga Sensor Film: http://www.lsf.go.id/film.php?module=profil
Profil KPI. (2007, May 4). Retrieved June 1, 2011, from Komisi Penyiaran Indonesia: http://www.kpi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=14&Itemid=6&lang=id
Undang-Undang Pornografi. (n.d.). Retrieved June 1, 2011, from Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia: http://www.ykai.net/index.php?view=article&id=355:undang-undang-pornografi
Undang-Undang Pornografi. (2011, May 29). Retrieved June 1, 2011, from Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi
Undang-Undang Pornografi. (2011, May 29). Retrieved June 1, 2011, from Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi
Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2008. (n.d.). Retrieved June 1, 2011, from YLBH APIK Jakarta: http://www.lbh-apik.or.id/uu-pornografi.htm