Creative Commons dan Perlindungan Hak Cipta di Era Digital : Penggunaan Lisensi Creative Commons

Menanggapi artikel :

The Creative Commons and Copyright Protection in the Digital Era: Uses of Creative Commons Licenses – Journal of Computer-Mediated Communication Vol 13 issue 1

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1083-6101.2007.00392.x/full

Pendahuluan

Di era globalisasi ini, dimana semua arus teknologi dan komunikasi menjadi sangat mudah dan “accessable” membuat arus informasi membutuhkan tingkat pengamanan yang tinggi pula. Hal tersebut dimaksudkan, problem mengenai keotentikan suatu informasi, dimana didalamnya termasuk karya tulis, pemikiran atau ide-ide dan sebagainya masih merupakan konflik yang tersusun kompleks. Dengan demikian diperlukan suatu pengamanan berlisensi yang dapat melindungi kepemilikan informasi asli yang dewasa ini isyarat dengan buramnya kepentingan publik dalam mengakses dan mempergunakan suatu karya cipta, dimana informasi yang sudah tersebar dapat dengan mudah “diklaim” oleh pihak lain yang bukan penciptanya. Hal itulah yang melatarbelakangi suatu penelitian terhadap creative commons yang disinyalir sebagai lisensi untuk  menghadapi kendala mengenai hak cipta tersebut.

Pembahasan

Creative Commons membuka kesempatan untuk individu yang ingin menghasilkan suatu karya dengan pengamanan, yang dapat diperoleh lewat satu set lisesnsi hak cipta gratis. Lewat penelitian yang dilakukan, dengan hanya membuka websitenya saja yaitu www.creativecommons.org pengguna mendapatkan kesempatan untuk mengaktakan dan melisensikan karyanya secara penuh, atau memfasilitasi pengguna untuk menelusuri konten-konten yang sudah berlisensi lewat direktori yang disediakan. Ada beberapa pembuktian mengenai keberhasilan creative commons dalam menyelesaikan beberapa konflik, dimana selain dapat melindungi hak cipta setiap pemberitaan yang beredar, creative commons juga terbukti melayani kepentingan publik (Gasaway, 2003; Jones, 2004; Merges, 2004, O’Hara, 2003; Reichman & Uhlir, 2003; Stoeltje, 2004, Wagner, 2003). Creative commons memiliki dua pondasi berbeda, dimana creative commons menjunjung hak cipta itu sendiri, namun juga sebagai media penyalur informasi berlisensi di setiap kontennya dimana dapat digunakan untuk kepentingan umum. Hal tersebut masih sering menemukan “perbedaan jalan” untuk menciptakan keseimbangan antara dua pondasi kuat tersebut. Dalam suatu penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa visi pribadi dari creative commons merujuk pada pengenaan biaya untuk setiap kontennya dimana apabila tidak, maka akan dianggap sebagai pelanggaran hak cipta secara besar-besaran. Sedangkan ketika pandangan kita arahkan kepada tujuan creative commons untuk menciptakan kebijakan publik, disana dapat ditemui bahwa dengan adanya biaya yang dikenakan untuk publik pengguna konten, akan menghambat inovasi dan kreativitas para pengguna. Memang hal yang kompleks, karena mungkin sebenarnya pengenaan biaya tersebut justru ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan inovasi, namun creative commons mungkin ingin menyediakan konten-konten berlisensi yang dapat digunakan untuk acuan para pengguna yang ingin menerbitkan karyanya tanpa harus mengeluarkan biaya.

Untuk mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan tersebut, beberapa pakar melakukan penelitian dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya analisis isi berlesensi, survei berbasis web, dan wawancara baik dengan pengguna atau perwakilan dari creative commons tersebut. Dimana dari penelitian tersebut dapat kita nilai bahwa, orang-orang yang memiliki hak cipta dimana diantaranya adalah individu, organisasi non-profit dan organisasi profit, ingin memiliki kekuatan untuk mengontrol karyanya termasuk mencari keuntungan dari karya berlisensi tersebut. Dapat kita rumuskan dari penelitian yang dilakukan melalui analisis isi-berlisensi bahwa metode tersebut hanya mencari keterkaitan antara jenis hasil karya dengan lisensi creative commons saja, bukan meneliti dari aspek kualitas dan kehidupan dari komersialisasi hak cipta karya tersebut. Individu yang memiliki pendapatan utama melalui komersialisasi karya berlisensinya, akan lebih ketat mengontrol komersialisasi karyanya tersebut daripada orang yang tidak. Orang yang tidak berpenghasilan dari karya berlisensinya cenderung akan melakukan pewarisan karya-karyanya dengan sebutan karya turunan kepada orang lain dengan tujuan non-profit seperti mencantumkan keaslian karya berlisensi mereka pada karya-karya turunan yang dirombak oleh orang lain tersebut.

Dalam pelaksanaan penetapan hak cipta, dua pondasi ini seperti berpegang pada prinsipnya masing-masing. Advokat visi pribadi misalnya, visi ini mengutamakan keuntungan finansial yang dihasilkan untuk penetapan setiap hak ciptanya. Dimana visi ini mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta yang merujuk untuk mempertahankan kredibilitas dari setiap hak cipta dan memberikan tanggung jawab untuk pemenuhan kepentingan umum kepada penerbit yaitu melakukan upaya pemuasan kebutuhan publik terhadap informasi yang berasal dari bahan yang berlisensi. Dengan demikian, biaya penerbitan yang mungkin akan banyak keluar, dapat ditutup oleh keuntungan yang didapat dari penjualan bahan yang memiliki hak cipta tersebut. Namun berbeda pandangan dengan visi kebijakan publik. Visi ini memandang bahwa, hak cipta dengan pemikiran tersebut hanya akan membuat perusahaan-perusahaan termasuk penerbit berkembang, bukan ditujukan kepada pribadi-pribadi yang memiliki tujuan dedikasi untuk menyumbangkan kreativitasnya. Dengan kata lain, dengan menetapkan kebijakan yang diutarakan visi pribadi, maka secara tidak langsung menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang pasif.

Kesimpulan

Kedua visi yang dimiliki oleh creative commons memang berdiri pada pondasi masing-masing. Namun kedua visi ini dapat melebur untuk memberikan suatu kebebasan berkarya bagi siapapun dengan apapun tujuannya. Lisensi ini membuka mata publik mengenai adanya keterkaitan antara hak cipta dengan kebebasan dan kreativitas. Dengan adanya lisensi creative commons dapat memberikan kesempatan untuk semua orang apabila ingin mempublikasikan karyanya tanpa harus takut karyanya akan disalahgunakan. Adanya Undang-Undang Hak Cipta yang mendasari lisensi ini, mampu menegaskan bahwa suatu karya dibuat untuk suatu tujuan baik itu profit yaitu komersialisasi karya berlesensi dimana didalamnya terdapat prioritas keuntungan untuk kepentingan pribadi pembuat karya sebagai bentuk penghargaan terhadap karya-karyanya, maupun tujuan non-profit yaitu karya-karya berlisensi yang dibuat semata-mata untuk melayani kepentingan publik tanpa pengharapan adanya keuntungan, dimana didalamnya terdapat upaya pewarisan karya berlisensi tersebut tanpa harus kehilangan keaslian hak ciptanya. Dengan demikian dalam pendistribusian informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam suatu karya berlisensi dapat berjalan berkesinambungan satu sama lain. Atau dengan kata lain semua kebutuhan yang berasal dari publikasi atau komersialisasi suatu karya akan terpenuhi, yaitu si pembuat karya dengan mendapatkan bentuk penghargaan berupa hak cipta itu sendiri ataupun keuntungan finansial dan juga publik yang terpenuhi kebutuhannya akan informasi dan pengetahuan tanpa harus bersusah-payah dan melanggar hak cipta, dimana kedua hal tersebut dapat membentuk suatu budaya baru untuk saling menghargai satu sama lain dan hidup berdampingan.

Referensi

www.creativecommons.org ; http://creativecommons.org/about/licenses/

Gasaway, 2003; Jones, 2004; Merges, 2004, O’Hara, 2003; Reichman & Uhlir, 2003; Stoeltje, 2004, Wagner, 2003

Daftar Pustaka

  • Benkler, Y. (2000). From consumers to users: Shifting the deeper structures of regulation towards sustainable commons and user access. Federal Communication Law Journal, 52, 561579.
  • Benkler, Y. (2001). Property, commons, and the First Amendment: Towards a core common infrastructure. White Paper for the First Amendment Program, Brennan Center for Justice at NYU School of Law. Retrieved November 10, 2004 fromhttp://www.benkler.org/WhitePaper.pdf
  • Boyle, J. (2004). A manifesto on WIPO and the future of intellectual property. Duke Law & Technology Review, 2004 (0009). Retrieved October 20, 2004 from http://www.law.duke.edu/journals/dltr/articles/2004dltr0009.html
  • Lessig, L. (2004a). Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity. New York: Penguin Press.
  • Lessig, L. (2004b). The Creative Commons. Montana Law Review65, 1–13.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

6 Responses to Creative Commons dan Perlindungan Hak Cipta di Era Digital : Penggunaan Lisensi Creative Commons

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *